This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Kamis, 06 Juni 2013

Pengertian Persahabatan menurut Islam


Istilah sahabat dalam Islam sedemikian popular. Nabi memiliki banyak sahabat dalam mengembangkan Islam. Ada empat sahabat nabi yang amat dikenal, yang kemudian memimpin masyarakat Islam sepeninggal Nabi, yaitu Sayyidina Abu Bakar, Sayyidina Umar, Sayyidina Ustman dan Sayyidina Ali. Ke empat sahabat nabi ini, menurut tarikhnya, mereka sedemikian tulus dan dekat dengan nabi.

Para sahabat itu memiliki komitmen yang amat tinggi dalam memperjuangkan Islam. Apa saja ynag dilakukan oleh nabi, mereka ikuti dan kerjakan. Hubungan mereka dijalin bukan atas kepentingan, melainkan atas dasar cinta terhadap ajaran Islam yang sedemikian mulia. Atas dasar itu maka hidup dan atau mati mereka, hanya diperuntukkan bagi perjuangan agama Allah itu. Sebaliknya, antara sahabat dengan nabi tidak pernah terjadi konflik, salah paham, dan sejenisnya.

Mereka itu semua adalah orang-orang yang setia, sehingga pada saat nabi masih hidup, sekalipun sedemikian berat, perjuangan nabi selalu berhasil dengan gemilang. Kiranya tidak bisaa dibayangkan, andaikan para sahabat tersebut, tidak memiliki komitmen dan atau hati mereka tidak diikat oleh tali kasih sayang yang mendalam. Mungkin nabi akan disibukkan oleh persoalan-persoalan internal di lingkungan sahabat sendiri.

Persahabatan seperti itu, memang seharusnya bisa dicontoh oleh umatnya. Persahabatan dalam Islam diikat oleh tali keimanan dan kasih sayang di antara mereka. Iman selalu bersemayam di hati dan bukan hanya terletak di alam pikiran. Iman berbeda dengan sebatas pemahaman. Jika iman berada di hati maka pemahaman dan kesepakatan atau komitmen selalu berada di alam pikiran. Suara hati agaknya memang berbeda dengan suara akal. Suara hati selalu didasari oleh nilai-nilai luhur kasih sayang, sedangkan kesepakatan dan komitmen didasari oleh kepentingan-kepentingan.

Ikatan keseimanan dan kasih sayang, tidak mengenal transaksi, pertimbangan untung atau rugi, dan siapa mendapatkan apa. Berbeda dengan itu adalah hubungan-hubungan rasional dan kesepahaman yang biasanya diikat oleh janji atau MoU, maka berkemungkinan pihak-pihak tertentu, setelah mempertimbangkan untung atau rugi, apalagi ditengarai telah terjadi suasana tidak jujur dan tidak adil, maka kesepakatanm itu akan dibatalkan dan bahkan saling menggugat dan membatalkan kerjasama itu.

Islam sebagaimana yang telah dilakukan oleh Rasulullah, dalam membangu persahabatan didasari oleh kecintaan pada Allah dan rasulnya. Oleh karenanya, ikatan itu lebih konstan, mantap dan istiqomah. Persahabatan dalam Islam dibina sepanjang waktu, baik dalam kegiatan spiritual maupun dalam kegiatan social. Dalam kegiatan spiritual misalnya, setiap sholat selalu bacaannya diakhiri dengan mengucap salam ke kanan dan ke kiri. Ucapan salam itu berisi doa, memohon agar keselamatan dan rahmat Allah selalu melimpah kepada saudaranya sesama muslim.

Dalam kegiatan ritual, seperti dalam sholat tergambar bahwa seorang muslim tidak hanya berharap mendapatkan keselamatan bagi dirinya sendiri dan keluarganya, melainkan keselamatan bagi seluruh kaum muslimin. Demikian pula, dalam berbagai doa’ yang diucapkan, kaum muslimin selalu menyempurnakan doanya terhadap seluruh kaum muslimin dan muslimat, mukminin dan mukminat, baik yang masih hidup maupun yang sudah mati. Persahabatan kaum muslimin, sesungguhnya secara doktriner, diikat secara kokoh dalam waktu yang amat panjang, baik di dunia maupun akhirat. 

Hubungan sesama kaum muslimin, dibangun sebagaimana sebuah bangunan rumah, antara bagian satu dengan bagian lainnya saling memperkukuh. Selain itu juga diumpamakan bagaikan tubuh, maka jika sebagian sakit maka yang lainnya akan merasa sakit, dan demikian juga sebaliknya.
Hanya sayangnya konsep yang sedemikian luhur itu belum bisa direalisasikan sepenuhnya dalam kehidupan nyata. Di antara kaum muslimin seringkali masih saling bercerai berai. Berbagai organisasi Islam yang muncul di mana-mana, yang semestinya antara satu dan lainnya saling memperkukuh, namun pada kenyaannya justru sebaliknya. Antar berbagai organisasi terjadi saling berkompetisi, konflik dan bahkan juga saling menyerang dan menjatuhkan. Lebih ironi lagi, konflik itu tidak saja terjadi antar organisasi Islam, tetapi justru terjadi pula di antara internal organisasi.

Sedemikian rentannya persahabatan di antara kaum muslimin, sehingga seringkali terdengar joke, bahwa agar para iblis tidak terlalu capek menggoda manusia, maka makhluk Allah yang dianggap paling mulia tersebut didorong saja mendirikan organisasi dan syukur kalau organisasi yang bernuansa politik. Jika organisasi atau partai politik itu sudah berhasil berdiri, maka sekalipun setan tidak bekerja, maka mereka dengan sendirinya sehari-hari akan konflik dan saling menyerang dan menjatuhkan satu dengan lainnya.

Anekdot tersebut rasanya tidak sulit dipahami dari kalangan umat Islam. Selama ini seolah-olah ajaran Islam tidak memiliki konsep tentang persatuan umat. Selain itu seolah-olah Islam belum menjadi faktor pemersatu, dan sebaliknya, justru menjadi kekuatan pemecah belah umat manusia. Padahal kenyataannya tidak begitu. Banyak hadits nabi menegaskan bahwa antara sesame kaum muslimin adalah bagaikan saudara. Persatuan hendaknya diperkokoh. Sesama kaum muslimin harus saling mencintai. 

Demikian pula Al-Qur’an secara tegas melarang saling bercerai berai di antara kaum muslimin. Perpecahan, tidak terkecuali di antara kaum muslimin, sudah menjadi hal biasa. Maka kemudian muncul jargon-jagon pembenar terjadinya konlik, dan atau perpecahan apalagi dalam organisasi politik. Mereka mengatakan bahwa berbeda pendapat, konflik dan sejenisnya adalah syah-syah saja. Bahkan menganggap hal wajar sebuah statemen yang mengatakan bahwa, persahabatan dalam politik tidak pernah abadi. Sebaliknya, mereka mengatakan bahwa yang abadi adalah kepentingan. Sehingga, sepanjang di antara mereka masih memiliki kepentingan yang sama, maka kelompok itu masih bisa bersatu, dan sebaliknya akan bercerai jika kepentingan itu tidak didapat.

Persahabatan yang dicontohkan oleh Rasulullah sesungguhnya tidak demikian. Persahabatan itu diikat oleh kasih sayang yang mendalam, iman, dan ketaqwaan. Kasih sayang atau saling mencintai di antara kaum muslimin harus didasarkan atas motivasi karena Allah dan Rasulnya, dan bukan karena kepentingan sebagaimana dalam ikatan politik itu. Negeri yang kita cintai ini, semestinya dibangun atas dasar kecintaan kepada bangsa dan negara, dan bukan atas dasar kepentingan golongan atau partai. 
Dalam Islam mencintai bangsa adalah bagian dari keimanan seseorang. Jika demikian halnya, maka sesungguhnya tidak akan terjadi fenomena persaingan di antara pemimpin bangsa, yang mereka itu masih sama-sama mendapatkan amanah dari rakyat.

Memang fenomena seperti itu, menurut bahasa politik adalah sah-sah saja dilakukan oleh siapapun. Keputusan itu tidak sedikitpun menyalahi undang-undang atau peraturan yang ada. Akan tetapi, sesungguhnya jika ikatan di antara itu bukan sebatas komitmen, kesepakatan atau kepentingan, melainkan berupa tali keseimanan, kecintaan terhadap bangsa, maka semestinya para pemimpin selalu mengambil tindakan arif dan bijak. Atas dasar kecintaannya itu , maka masing-masing akan selalu menjaga persahabatan yang telah dibangun atas dasar nilai-nilai mulia itu. Islam tidak mengenal istilah persahabatan sementara, sesaat, bebas atau liberal. Tetapi dalam dunia ekonomi saja istilah seperti itu ada, yaitu ekonomi liberal, yang juga banyak orang ternyata tidak menyukainya. Wallahu aa’lam.

Referensi :
  1. http://nurul9386.wordpress.com/2011/01/27/pengertian-persahabatan-menurut-islam/

Rabu, 23 Januari 2013

Ayat-ayat Muhkamat dan Mutsyabihat

A.    Pendahuluan

Allah SWT menurunkan Al-Qur’an dalam bahasa Arab. Terpilihnya bahasa Arab tentu memiliki hikmah tertentu yang hingga saat ini masih menjadi kajian yang menarik untuk dilakukan. Kajian dari segi keindahan bahasa maupun muatan makna dari ayat-ayat Al-Qur’an menjadi bagian penting dalam kajian Ulumul Quran.
Di antara kajian tersebut ada kajian tentang muhkamat dan mutasyabihat. Studi ini bertitik tolak dari kajian bahasa Al-Qur’an. Di mana Al-Qur’an memiliki beberapa redaksi yang memiliki multi-interpretasi. Di samping sebagai kelebihan dari Al-Qur’an sebagai mukjizat, redaksi yang memiliki beberapa makna ini dapat menjadi ruang deviasi terhadap makna bahasa wahyu tersebut.
Demikianlah beberapa alasan penting sehingga pemakalah mengkaji tentang ayat muhkamat dan mutasyabihat dalam Al-Qur’an, di samping sebagai tugas pada mata kuliah Ulumul Quran.
Kajian ini berawal dari pengertian muhkamat dan mutasyabihat, sumber perbedaan pendapat, macam-macam, serta diakhiri dengan beberapa hikmah adanya ayat-ayat muhkamat dan mutasyabihat.

B.     Pengertian Muhkamat dan Mutasyabihat

Secara bahasa, kata muhkamat berasal dari kataاحكم يحكم احكاما yang memiliki arti ketelitian, keakuratan, kekukuhan, pencegahan dan keseksamaan[1]. Sedangkan kata mutasyabihat berasal dari kata تشابه - يتشابهتشابها yang berarti mirip, sama, serupa atau yang biasanya membawa kepada kesamaran di antara dua hal[2].

Kedua kata di atas terdapat dalam Al-Qur’an yaitu sebagai berikut:
Pertama, firman Allah surat Hud ayat 1:

الَر كِتَابٌ أُحْكِمَتْ آيَاتُهُ ثُمَّ فُصِّلَتْ مِن لَّدُنْ حَكِيمٍ خَبِيرٍ
Artinya: Alif laam raa, (Inilah) Kitab yang ayat-ayatNya disusun dengan rapi serta dijelaskan secara terperinci, yang diturunkan dari sisi (Allah) yang Maha Bijaksana lagi Maha tahu,(QS. Hud : 1)

Ihkam pada ayat ini memiliki makna bahwa ayat Al-Qur’an terjaga keakuratannya, serta rinci hal perintah maupun larangan, serta jelas perbedaan antara halal dan haram[3].

Kedua, firman Allah surat Az-Zumar ayat 23:

اللَّهُ نَزَّلَ أَحْسَنَ الْحَدِيثِ كِتَابًا مُّتَشَابِهًا مَّثَانِيَ تَقْشَعِرُّ مِنْهُ جُلُودُ الَّذِينَ يَخْشَوْنَ رَبَّهُمْ ثُمَّ تَلِينُ جُلُودُهُمْ وَقُلُوبُهُمْ إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ
Artinya: Allah Telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) Al Quran yang serupa (mutu ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang gemetar karenanya kulit orang-orang yang takut kepada Tuhannya, Kemudian menjadi tenang kulit dan hati mereka di waktu mengingat Allah.(QS. Az-Zumar : 23)

Tasyabuh pada ayat ini memiliki makna bahwa adanya ayat Al-Qur’an menyerupai dan membenarkan satu dengan yang lainnya, tidak saling bertentangan. Kata matsaniy memberikan pemahaman adanya pengulangan dalam ayat merupakan bagian dari metode pendidikan Allah kepada hambaNya[4]

Ayat pertama (QS. Hud : 1) dan ayat kedua (QS. Az-Zumar : 23) memberikan pemahaman kepada kita tentang muhkam dan mutasyabih secara umum yang terdapat dalam Al-Qur’an.

Ketiga, firman Allah surat Ali Imran ayat 7:

هُوَالَّذِيَ أَنزَلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ مِنْهُ آيَاتٌ مُّحْكَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتَابِ وَأُخَرُ مُتَشَابِهَاتٌ فَأَمَّا الَّذِينَ في قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَاء الْفِتْنَةِ وَابْتِغَاء تَأْوِيلِهِ وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلاَّ اللّهُ وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ يَقُولُونَ آمَنَّا بِهِ كُلٌّ مِّنْ عِندِ رَبِّنَا وَمَا يَذَّكَّرُ إِلاَّ أُوْلُواْ الألْبَابِ

Artinya: Dia-lah yang menurunkan Al Kitab (Al Quran) kepada kamu. di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamat Itulah pokok-pokok isi Al qur'an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat. adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, Maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta'wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta'wilnya melainkan Allah. dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami." dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal.(QS.Ali Imran : 7)

Para ulama berbeda pendapat dalam memberikan pengertian muhkamat dan mutasyabihat, di antaranya sebagai berikut:
1.      Muhkam adalah sesuatu yang telah jelas maknanya. Sedangkan mutasyabihat tidak jelas maknanya[5].

2.      Muhkam adalah ayat yang maksudnya dapat diketahui secara lansung tanpa membutuhkan keterangan lain. Sedangkan mutasyabih butuh penjelasan[6].

3.      Muhkam adalah ayat yang dalalhnya kuat baik maksud maupun lafaznya. Sedangkan mutasyabih adalah ayat yang lemah dalalahnya, bersifat mujmal, sehingga memerlukan ta’wil[7].

4.      Muhkam adalah ayat yang seksama susunan dan urutannya yang membawa kepada kebangkitan makna yang tepat tanpa pertentangan. Sedangkan mutasyabih adalah ayat yang makna seharusnya tidak terjangkau dari segi bahasa kecuali bila ada bersamanya indikasi atau konteksnya[8].

Dari berbagai defenisi di atas dapat disimpulkan, bahwa ayat muhkamat adalah ayat yang jekas dan terang maknanya sehingga mudah dipahami dengan mudah maksudnya. Sedangkan ayat mutasyabihat adalah ayat yang kurang jelas dan samar-samar maknanya sehingga sulit untuk mengetahui maksudnya[9].

C.    Sumber Perbedaan Pendapat

Dalam membahas ayat-ayat muhkamat, ulama tidak berbeda pendapat. Sekiranya ada, tetapi tidak bersifat prinsip[10]. Sedangkan dalam memahami ayat mutasyabahat terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama apakah ayat-ayat mutasyabihat ini mampu dipahami oleh manusia atau tidak.
Perbedaan itu bermula dari memahami makna surat Imran ayat 7.

...وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلاَّ اللّهُ وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ يَقُولُونَ آمَنَّا بِهِ كُلٌّ مِّنْ عِندِ رَبِّنَا...
Lebih rinci penulis urai sebagai berikut:
1.      Ulama yang berpendapat bahwa waqaf ayat di atas pada lafal الله, sedangkan الرَّاسِخُونَ adalah mubtada dan khabarnya adalah يَقُولُونَ. Huruf و pada ayat di atas adalah waw isti’naf[11], sehingga memiliki makna bahwa hanya Allah yang mengetahui makna ayat mutasyabihat, memuji orang yang menyerahkan urusan mutasyabihat itu kepada Allah swt.

2.      Ulama yang berpendapat bahwa huruf و pada ayat di atas adalah wawul ‘athaf. Sehingga memiliki makna bahwa ayat-ayat mutasyabihat itu dipahami oleh Allah dan orang-orang yang mendalami ilmunya. Pendapat ini dipelopori oleh Imam Nawawi dengan alasan bahwa mustahil bagi Allah swt memerintahkan sesuatu yang tidak ada jalan keluar untuk memahami maknanya.

Selanjutnya hal yang menjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama adalah apakah ayat-ayat mutasyabihat mesti ditafsirkan, ditakwilkan atau diimani dan diserahkan maksudnya kepada Allah. Maka dalam hal ini ada 3 (tiga) pendapat ulama[12]:
1.      Mazhab salaf berpendapat, bahwa dalam memahami ayat mutasyabihat cukup diserahkan kepada Allah swt saja dengan tujuan mensucikan Allah dari hal yang mustahil bagi-Nya.

2.      Mazhab khalaf terpecah menjadi dua kelompok. Pertama, kelompok yang menta’wilkan ayat mutasyabihat terhadap ayat-ayat yang tidak diketahui penjelasannya yaitu sifat yang tetap bagi Allah. Kedua, kelompok yang menta’wilkan sifat-sifat yang hanya diyakini dengan jalan menjelaskannya, maka dipalingkan lafaz yang mustahil menurut zahirnya dari ayat-ayat yang mutasyabihat kepada makna yang pantas menurut etimologi.

3.      Mazhab mutawasiththin mengambil jalan tengah dari kedua kelompok di atas, yaitu apabila ta’wil itu dekat kepada bahasa Arab maknanya tidak boleh ditolak dan apabila jauh maka kita harus menjauhkan diri darinya dan kita beriman serta meyakini ayat tersebut untuk mensucikan sifat Allah dari penyerupaanNya dengan makhluk.



D.    Macam-macam Ayat Mutasyabihat

Para ulama membagi ayat-ayat mutasyabihat kepada tiga macam[13]:
1.      Mutasyabihat dari segi lafaz
Yaitu ayat-ayat yang serupa dengan ayat lain dari segi lafaz dan susunan kalimatnya. Seperti ayat yang menjelaskan tentang kisah para nabi yang diulang-ulang dengan redaksi sedikit berbeda, dengan maksud memberikan sati kisah dengan beragam bentuk. Seperti:
a.       Surat Al-Baqarah : 58
وادخلوا الباب سجدا وقولوا حطة
b.      Surat Al-A’raf : 161
وقولوا حطة وادخلوا الباب سجدا

Mutasyabihat dari segi lafaz ini terbagi dua, yaitu:
a.       Yang dikembalikan kepada lafaz yang tunggal yang sulit pemaknaannya, seperti  العين dan اليد .
b.      Yang dikembalikan kepada bilangan susunan kalimatnya.

Di antara sumber bacaan untuk mengetahui lebih lanjut tentang mutasyabih lafzy dapat kita temuka pada kitab-kitab sebagai berikut:
a.       Durratu Tanzil wa Ghurratu Ta’wil
b.      Al-Burhan fi Mutasyabihil Qur’an
c.       Malakut Ta’wil

2.      Mutasyabihat dari segi makna
Menurut as-Suyuti, mutasyabihat dari segi maknanya ada lima macam[14], yaitu:
a.       Mutasyabihat dari segi kadarnya, seperti lafaz umum dan khusus; اقتلوا المشركين
b.      Mutasyabihat dari segi cara, seperti perintah wajib dan sunah; فانكحوا ماطاب لكم من النساء
c.       Mutasyabihat dari segi waktu, seperti nasikh dan masukh;
 اتقوا الله حق تقاته
d.      Mutasyabihat dari segi tempat dan suasana di mana ayat diturunkan;  والراسخون فى العلم
e.       Mutasyabihat dari segi syarat-syarat



E.     Hikmah Ayat Muhkamat dan Mutasyabihat

Ayat muhkamat dalam Al-Qur’an sebagai bukti bahwa Al-Qur’an itu sebagai penjelas dan dan petunjuk bagi manusia dalam menjalani kehidupan ini. Sedangkan ayat mutasyabihat sebagai pengujian terhadap orang-orang yang taat dan mengamalkannya.
Mengenai hikmah tentang adanya ayat-ayat mutasyabihat di dalam Al-Qur’an, para ulama telah banyak mengkaji hikmahnya, di antara hikmahnya seperti dibawah ini:
1.         Imam Al-Suyuthi
Imam al-Suyuthi dalam kitabnya al-Itqan menyebutkan empat hikmah di antaranya[15]:
a.  Ayat-ayat mutasyabihat ini mengharuskan upaya yang lebih banyak untuk mengungkapkan maksudnya sehingga menambah pahala bagi para pengkajinya.
b.      Sekiranya Al-Qur’an seluruhnya muhkam tentunya hanya ada satu mazhab, akan tetapi karena Al-Qur’an mengandung ayat muhkam dan matasyabihat maka masing-masing mazhab akan menggali dalil untuk menguatkan pendapatnya. Selanjutnya semua mazhab akan memperhatikan dan merenungkannya. Sekiranya mereka terus menggalinya maka ayat-ayat muhkamlah yang menjadi penafsirnya.

c.       Jika Al-Qur’an mengandung ayat-ayat mutasyabihat, maka untuk memahaminya diperlukan cara penafsiran dan tarjih antara satu dengan lainnya.

d.      Al-Qur’an berisi dakwah terhadap orang-orang tertentu dan umum. Orang awam biasanya kurang menyukai hal-hal yang abstrak. Oleh karena itu sebaiknya kepada mereka disampaikan penjelasan yang sesuai dengan tingkatan akal mereka.

2.      Al-Zarqani
Al-Zarqani menyebutkan sepuluh hikmah keberadaan ayat-mutasyabihah dalam Al-Qur’an. Empat di antaranya telah disebutkan oleh al-Suyuthi di atas. enam hikmah lagi adalah sebagai berikut[16]:
a.         Ayat-ayat mutasyabihat merupakan rahmat bagi manusia yang lemah yang tidak dapat mengetahui sesuatu. Ketika Tuhan menampakkan dirinya pada bukit, bukit itu hancur luluh dan Musa jatuh pingsan. Bagaimana sekiranya Tuhan menampakkan hakikat zat dan sifatnya pada manusia? Tuhan merahasiakan kapan terjadinya hari kiamat merupakan rahmat bagi manusia, agar manusia tidak bermalas-malas mempersiapkan perkalan untuk menghadapinya.

b.         Keberadaan ayat ini juga merupakan cobaan dan ujian bagi manusia, apakah manusia         percaya atau tidak tentang hal gaib berdasarkan berita yang disampaikan oleh orang yang benar. Orang-orang yang mendapat hidayah akan mempecayainya sekalipun mereka tidak mengetahui rinciannya. Sedangkan orang-orang yang sesat akan mengingkarinya.

c.         Ayat-ayat mutasyabihat ini menjadi dalil atas kelemahan dan kebodohan manusia.

d.        Ayat-ayat mutasyabihat dalam Al-Qur’an menguatkan mu’jizatnya, sebab setiap ayat mengandung arti dan makna yang tersembunyi yang membawa kepada tasyabuh (kesamaran) memiliki andil yang besar dalam kebalaghahannya dan sampainya ketingkat yang paling tinggi dalam bayan.

e.         Keberadaan mutasyabihat mempermudah orang menghafal dan memelihara Al-Qur’an. Sebab setiap kalimat yang mengandung banyak penafsiran yang berakibat ketidak jelasan akan menunjuk banyak makna yang lebih dari pengertian yang dipahami dari kalimat asal. Sekiranya makna-makna sekunder ini diungkapkan secara langsung niscaya Al-Qur’an akan menjadi berjilid-jilid. Hal ini tentunya menyulitkan untuk menghafal, memahami dan memeliharanya.

f.          Terkandungnya ayat muhkamat dan mutasyabihat dalam Al-Qur’an memaksa orang yang menelitinya untuk menggunakan argument-argumen akal. Dengan demikian ia terbebas dari taklid.



F.     Penutup
1.      Kesimpulan
Al-Qur’an merupakan mukjizat Nabi Muhammad SAW. memiliki fungsi melemahkan bagi siapa saja yang ingin menandinginya, sehingga tak seorangpun yang mampu membuat Al-Qur’an atau semisalnya.
Muhkamat dan mutasyabihat merupakan bagian dari mukjizat itu. Banyak makna yang tersurat dan tersirat dalam Al-Qur’an. Ada yang tersurat mudah dipahami itulah muhkamat, dan ada pula yang samar pemahamannya itulah mutasyabihat. Ditambah makna yang tersirat yang membutuhkan kajian mendalam.

2.      Saran
Setelah mengkaji ayat muhkamat dan mutasyabihat, penulis semakin merasa sedikitnya ilmu yang dimiliki untuk mengetahui ilmu Allah yang maha luas. Penulis berharap semoga dengan kajian ini membuat pembaca juga memiliki semangat yang dahsyat untuk terus mengkaji Al-Qur’an dan Ulumul Qur’an.
Oleh sebab itu, kekurangan dari makalah ini adalah sebuah keniscayaan. Ilmu dan masukan dari pembaca menjadikan makalah ini lebih sempurna.


DAFTAR PUSTAKA

Ali, Atabik dan Muhdhlor, Ahmad Zuhdi, Kamus kontemporer Arab Indonesia, 1998. Jakarta: Multi Karya Grafika
Ismail, Muhammad Al-Bakr, Dirasat fi Ulumil Quran, 1991. Beirut: Darul Manar
Qathan, Manna’, Mabahits fi Ulumil Qur’an, 1975. Riyadh: Mansyuratul Ashril Hadits
al-Suyuti, Jalaludin, al-Itqan fi Ulumil Qur’an, t.t, Beirut: Darul Fikri
Wahid, Ramli Abdul, Ulumul Qur’an, 1996. Jakarta: Raja Grafindi Persada
Zaini, Hasan dan Hasanah, R. ‘Ulumul Al-Qur’an. 2011. Batusangkar: STAIN Press
al-Zarqani, M. Abdul Azhim, Manahilul Irfan fi Ulumil Qur’an, t.t, Makkah: Darul Ihyaul Kutub
Zarzuf, Adnan Muhammad, Ulumul Qur’an wa ‘Ijazuhu wa Tarikhu Tautsiqihi, 2005. Oman: Darul A’lam



[1] Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdhlor, Kamus kontemporer Arab Indonesia, (Jakarta: Multi Karya Grafika, 1998), h. 45
[2]  Ibid, h. 1.607
[3] Adnan Muhammad Zarzuf, Ulumul Qur’an wa ‘Ijazuhu wa Tarikhu Tautsiqihi, (Oman: Darul A’lam, 2005) h. 247
[4] Ibid, h. 248
[5] Jalaludin al-Suyuti, al-itqan fi ulumil qur’an, (Beirut: Darul Fikri, t.th) j.II. h. 2
[6] Manna’ Qathan, Mabahits fi ulumil quran, (Riyadh: Mansyuratul Ashril Hadits, 1975), h.216
[7] Muhammad Al-Bakr Ismail, Dirasat fi Ulumil Quran, (Beirut: Darul Manar, 1991), h.211
[8] Ramli Abdul Wahid, Ulumul Qur’an, (Jakarta: Raja Grafindi Persada, 1996), h. 83-84
[9] Hasan Zaini dan Radhiatul hasanah, ‘Ulumul Al-Qur’an. (Batusangkar: STAIN press, 2011) h.117
[10] ibid. H. 117
[11] Jalaludin al-Suyuti, Op, Cit, h. 5
[12] M. Abdul Azhim Al-Zarqani, Manahilul Irfan fi Ulumil Qur’an, (Makkah: Darul Ihyaul Kutub, t.th), j. 11, h. 306-310
[13] Ibid, h. 301
[14] Jalaludin al-Suyuti, Op, Cit, h. 6
[15] Jalaluddin al-Suyuthi, Op. Cit, h. 13
[16] Al-Zarqani, op.cit, h. 282-285